Jumat, 02 Juli 2010

PEMIKIRAN POLITIK JAMALUDIN AL-AFGHANI



A.     Pendahuluan
Pada akhir abad ke tiga belas Hijriah, ketika dunia Islam terperosok ke kegelapan dan dekadensi, seorang dengan pribadi yang menonjol tampil ke depan. Ia berhasil menghalau kesedihan yang meliputi suasana masa itu. Orang itu adalah Jamaluddin al-Afghani, pemberi aba-aba bagi kebangkitan kembali Islam di abad ke sembilan belas Masehi. Dia Muallim yang suka berkeliling, jenius yang kreatif, cendikiawan dan orator besar, yang dengan kelebihan-kelebihan itu membangkitkan dunai Islam secara menyeluruh. Ia bergerak di Ibukota-Ibukota di berbagai Negara Islam. Di sana ia memberikan kuliah dan menulis. Ia juga mengulas tulisan-tulisannya yang berhubungan dengan misinya mempersatukan umat Islam. Ketika meninggal dunia, ia meninggalkan sekelompok besar para pekerja yang tetap bersemangat meneruskan syiarnya.
Sesungguhnya tidak ada seorangpun selain Jamaluddin al-Afghani yang secara nyata telah mempengaruhi Islam abad sembilan belas. M. Iqbal, pemikir besar dari dunia Timur itu, sangat menghormatinya. Berkata Iqbal, dia ahli bahasa yang sempurna, yang menguasai berbagai bahasa dari bangsa beragama Islam di dunia, yang kefasihannya berbicara diakui, yang merasuk hati. Jiwa yang tidak mau diam itu selalu mengembara dari negara Islam yang satu ke negara yang lain untuk mempengaruhi orang-orang penting di Iran, Mesir dan Turki. Beberapa ahli agama terbesar seperti Mufti Muhammad Abduh dari Mesir adalah muridnya. Ia memang tidak banyak menulis tetapi rajin berbicara, dan dengan itu ia mengubah orang-orang yang kontak dengannya menjadi seperti dirinya.
Tugas utama yang diembannya adalah menghimpun kembali kekuatan dunia Islam yang tercecer, serta menyingkirkan kemusyrikan dan kesulitan yang dialami oleh kaum Muslim pada zamannya. Dia sendiri bekerja keras untuk mengatasi berbagai kesulitan tersebut. Jika ia mengetahui bahwa saudara muslimnya ditimpa bencana, dengan secepat kilat dia berusaha memahami kondisi mereka, serta berupaya memberikan bantuan dan perbaikan. Dia yakin bahwa kebangkitan Islam merupakan tanggung jawab kaum Muslim, bukan tanggung jawab sang Pencipta. Masa depan kaum Muslim tidak akan mulia kecuali jika mereka menjadikan diri mereka sendiri sebagai orang besar. Mereka harus bangkit dan menyingkirkan kelalaian. Mereka harus tahu realitas, melepasakan diri dari kepasrahan, dan memahami salah satu ayat Allah,
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kenikamatan yang ada pada suatu kaum sehingga mereka mengubahnya dengan diri mereka sendiri. ”
Ayat ini telah berabad-abad tidak memberikan ilham apapun kepada kaum Muslim sehingga datang Jamaluddin al-Afghani yang banyak menyampaikan khutbah uraian ayat ini dan mengajak mereka untuk memperbaiki sejarah dunia mereka sebelum masyarakat mereka mati. Dia mengajak umat untuk mengubah nasibnya dari periode yang suram kepada periode yang dipenuhi semangat dan kebangkitan. Jamaluddin al-Afghani pembaharu Muslim pertama yang menggunakan term Islam dan Barat sebagai fenomena yang selalu bertentangan. Sebuah pertentangan yang justru harus dijadikan patokan berfikir kaum muslim sejak saat itu, yaitu untuk membebaskan kaum Muslim dari kekuatan dan eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Eropa. Tujuan utama gerakannya ialah menyatukan pendapat semua negara-negara Islam termasuk Persia yang Syiah dibawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah Imperium Islam yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan bangsa Eropa. Oleh karena itulah, dia menyerukan niatnya ini dengan pena dan lidahnya untuk menyatukan pemikiran Islam. Dengan khutbahnya yang berapi-api, dia tidak bosan menyampaikan pemikiran tersebut, untuk membangkitkan dan membakar semangat kaum Muslim dari satu negara ke negara yang lain. Dia ingin membangunkan kesadaran mereka akan kejayaan Islam pada masa lampau yang menjadi kuat karena bersatu. Ia telah menyadarkan mereka bahwa kelemahan umat Islam sekarang ini adalah karena mereka berpecah-belah.

B.     Riwayat Singkat Jamaluddin al-Afghani
Jamaluddin lahir di Iran, tetapi ada juga yang menyatakan di lahir di Afganistam, pada tahun 1354H/1839 M. dan meninggal dunia di Istambul tahun 1897 M..[1] Dia menghabiskan masa kecilnya di Afghanistan sampai meningkat dewasa. Silsilah keturunan memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad SAW., yaitu melalui silsilah Imam Turmudzi sampai cucunda Nabi SAW., Husain bin Ali bin Abi Thalib.[2] Mengenai kontraversi asal mula Jamaluddin al-Afghani, di dalam Osman Amin mencatat: “Problem touching the origin of Jamal al-Din far from having been solved”.[3]
Kecerdasan dan kebijakan politiknya sudah mulai terlihat ketika al-Afghani berusia 22 tahun sebagai pembantu pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Pada tahun 1864 sebagai penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian dia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri.[4]
Al-Afghani adalah seorang pengelana dari satu negeri ke negeri lainnya. Mula-mula ke India (dari Iran), lalu ke Mekah, ke Istambul, dan kemudian ke Afganistan (lewat Iran).[5] Dalam catatan Harun Nasution, al-Afgani dari Afganistan pergi ke India tahun 1869,[6] kemudian ke Mesir tahun 1871, dari Mesir kemudian ke Paris (Eropa) tahun 1879,[7] tahun 1889 dia datang ke Persia, da terakhir dia peri ke Istambul pada tahun 1892, dan kemudian meninggal dunia di sini tahun 1897.[8]
Ketika al-Afgani di Paris, dia meneribatkan majalan atau koran al-’Urwah al-Wutsqa, yang mendapat subsidi dari para pengagum dan dibagikan secara gratis kepada para tokoh terkemuka di seluruh dunia Muslim; di mana substansinya merupakan kelanjutan pemikirannya mengenai anti-Inggris, yang di dalamnya memuat juga pemikirannya mengenai persatuan umat Islam dalam rangka membendung serang pihak asing.[9]

C.     Karya-karya Jamaluddin al-Afghani
Beberapa buku yang ditulis oleh Afghani antara lain Tatimmat al-bayan (Cairo, 1879). Buku sejarah politik, sosial dan budaya Afghanistan. Hakikati Madhhabi Naychari wa Bayani Hali Naychariyan. Pertama kali diterbitkan di Haydarabad-Deccan, 1298 H/1881 M, ini adalah karya intelektual Afghani paling utama yang diterbitkan selama hidupnya. Merupakan suatu kritik pedas dan penolakan total terhadap materialisme. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Arab oleh Muhammad Abduh dengan judul Al-Radd 'ala al-dahriyyin (Bantahan terhadap Materialisme). Kemudian Al-Ta'Liqat 'ala sharh al-Dawwani li'l-'aqa'id al-'adudiyyah (Cairo, 1968). Berupa catatan Afghani atas komentar Dawwani terhadap buku kalam yang terkenal dari Adud al-Din al-'Iji yang berjudul Al-‘Aqa’id al-‘Adudiyyah. Berikutnya Risalat al-Waridat fi Sirr al-Tajalliyat (Cairo, 1968). Suatu tulisan yang didiktekan oleh Afghani kepada siswanya Muhammad 'Abduh ketika ia di Mesir. Khatirat Jamal al-Din al-Afghani al-Husayni (Beirut, 1931). Suatu buku hasil kompilasi oleh Muhammad Pasha al-Mahzumi wartawan Libanon. Mahzumi hadir dalam kebanyakan forum pembicaraan Afghani pada bagian akhir dari hidupnya Buku berisi informasi yang penting tentang gagasan dan hidup Afghani.

D.     Pan Islamisme: Gagasan Politik Jamaluddin al-Afghani
1.      Latar Belakang
Pan-Islamisme lahir disebabkan, paling tidak, oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan oleh kondisi umat Islam yang berada dalam kondisi yang memprihatinkan; dalam bidang pemikiran mereka stagnan, dan dalam bidang sosial mereka sering bertikai, dan bidang politik sering terjadi perebutan kekuasaan yang tidak jarang terjadi peperangan antara sesama umat Islam.[10]
Sementara faktor eksternal datang dari luar Islam, yaitu dari barat; baik itu alam bentuk imperialisme, sekularisasi (penyebaran paham yang menjauhkan dari agama), ataupun westernisasi (pembaratan).[11]
Inilah dua latar yang paling signifikan dalam membangkitkan semangat Pan-Islamisme sebagai gerakan pemikiran dan politik.
2.      Gagasan Pan-Islamisme
Tema paling konsisten dalam hidup Jamaluddin al-Afgani ialah memusuhi pemerintahan orang Inggris di bumi kaum Muslim,[12] dan atau membebaskan diri kaum Muslim dari dominasi Barat.[13] Inilah latar belakang pemikiran politiknya yang dijelaskannya dalam salah satu tema Al-‘Urwah al-Wutsqa,[14] yaitu Pan-Islamisme[15]. Paling tidak terdapat dua substansi Pan-Islamisme itu, yaitu al-wihdah al-Islamiyyah (kesatuan yang islami) dan al-wihdah al-siyadah (kesatuan kepemimpinan).[16] Di samping itu, Pan-Islamisme ini juga didasarkan pada pengalamannya pemikiran dan gerakannya, terlebih ketika melihat dominasi Barat (Kristen) di India dan Mesir, di mana hal ini tidak terlepas dari semangat perang salib yang masih tetap berkobar.[17]
Di dalam al-wihdah al-Islamiyyah, al-Afgani mendasarkan pemikirannya pada ayat al-Qur’an: “Taatilah Allah dan rasul-Nya, dan janganlah kamu bersengketa yang karenanya kamu menjadi gagal dan hilang kekuatanmu”, dan “Berpegang teguhlah kamu semua dengan tali Allah, dan janganlah kamu berpecah belah”.[18]
Al-Afgani menyatakan, sebagaimana dikutip oleh Shafwan Nawawi dari buku Jamaluddin al-Afghani wa Atsaruh fi al’Alam al-Islami al-Haditsi, sebagai berikut:
Bersatu dan saling membantu untuk mengokohkan kekuasaan Islam termasuk sendi utama bagi agama yang dibawa Muhammad ini. Meyakini yang demikian merupakan prioritas dari sejumlah akidah bagi umat Islam. Untuk ini tidak dibutuhkan kitab atau guru untuk memahaminya. Sesungguhnya para pemimpin Islam, akan sesak nafasnya, berurai air matanya, karena sedih dan duka menyaksikan terjadinya perpecahan pendapat dan saling berkelahi antara sesama Muslim. Jika tidaklah karena kecurangan penguasa yang amat rakus berebut kekuasaan, tentulah barat dan timur, utara dan selatan akan bersatu….. Bersatu pendapat dalam melaksanakan pendapat tersebut adanya ikatan hati yang dinamis, terhindar dari gejolak-gejolak yang berbahaya terhadap agama.[19]

Berdasarkan pernyataannya itu, al-Afgani tidak hanya merasakan kekhawatiran akibat penetrasi Barat ke dunia Islam,[20] tetapi juga menyangkut masalah internal umat Islam itu sendiri; di mana tergambar dari ungkapannya bahwa, tidak hanya kalangan bawah, bahkan ulama dan penguasa di dunia Islam masih dalam kondisi yang memperihatinkan. Gagasan Pan-Islamisme dapat dinyatakan sebagai gerakan internal dalam rangka menghadapi musuh yang datang dari Barat.
Gibb menyatakan bahwa meskipun Pan-Islamisme itu, dari sisi politik, dimaksudkan untuk menentang penetrasi Eropa, ia mengandung aspek reformasi internal juga. Jamaluddin menyerang, dengan kegigihan yang sama, penyalahgunaan-penyalahgunaan Islam yang dilihatnya dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah Islam. Inti pokok pemikirannya adalah bahwa umat Islam harus membersihkan diri mereka sendiri dari kesalahan-kesalahan dan percampur-adukan agama; para ulama Muslim harus tampil menghadapi arus-arus pemikiran modern, dan negara Islam harus tampil sebagai ekspresi politik dan sarana untuk menyuarakan ajaran-ajaran ortodoks Islam.[21]
Pan-Islamisme, dalam pandangan al-Afgani, didasarkan pada ideologi, yaitu al-Qur’an dan Sunnah.[22] Ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan politik dan kekuasaan harus dipegang sebagai norma yang transformasional.[23] Di dalam Mafahim Islamiyyah dijelaskan bahwa gerakan pembaharuan Jamaluddin al-Afgani, yang bergerak sejak pertengahan kedua abad 19 merupakan gerakan tajdid pemikiran Islam dengan kembali kepada sumber primer, yaitu al-Qur’an dan Sunnah, serta manahij al-salaf al-shalih.[24]
Muhammad Abduh menjelaskan bahwa inti gerakan Pan-Islamisme ini berkisar pada tiga hal, yaitu 1) membebaskan pemikiran dari ikatan taklid (tahrir al-fikr min qayd al-taqlid), 2) memperbaiki sistem bahasa Arab dalam rakngka emansipasi, dan 3) menjelaskan hak hukum atas umat, dan hak umat akan keadilan.[25] Agak berbeda dengan kesimpulan Nawawi, bahwa inti gerakan Pan-Islamisme itu ialah: 1) menyatukan ideologi umat Islam kepada dasarnya, 2) melaksanakan dakwah yang lengkap dan lurus bebas bid’ah, 3) melakukan pembinaan dan pendidikan akhlak, dan 4) menyalakan api semangat kebersamaan dan perjuangan menuju umat yang unggul dan tunggal.[26]
Di dalam Majalah Al-Bayan dijelaskan, bahwa al-Afgani adalah sorang aktivis gerakan politik yang menghimbau orang-orang Timur untuk bangkit dari kejumudan mereka, yang berpindah dari satu negeri ke negeri yang lainnya. Ia menghubungi para penguasa, dan membangkitkan semangat seluruh umat Islam, menghidupkan sistem khilafah, mendasarkan pemerintahan pada dasar-dasar islami (ta’sis islami), yang menyebabkan dunia Barat menjadi goncang.[27]
Demikian dalam konsep al-wihdah al-siyadah, tidak dapat dilepaskan dari prinsip al-wihdah al-Islamiyyah. Dengan kata lain, kesatuan sebagai sesuatu yang dituntut agama membutuhkan kekuasaan yang akan memperjuangkan terciptanya kesatuan, sebab kesatuan itu sendiri tidak bisa terjadi dengan sendiri tanpa kekuasaan mengiringinya.[28] Dengan kata lain, kesatuan dan kekuasaan bagai dua keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dan karena itu, keduanya menjadi wajib untuk diupayakan. Lebih jelasnya al-Afgani menyatakan:
Saya tidak bermaksud dengan ucapan saya ini bahwa penguasa untuk semuanya adalah seorang. Hal ini mungkin susah untuk dilaksanakan. Akan tetapi yang saya harapkan adalah bahwa penguasa umat Islam itu adalah al-Qur’an. Orientasi kesatuan mereka adalah agama Islam…. [29]

Harun Nasution memberikan komentar yang bersifat kesimpulan:
..... persatuan umat Islam mesti diwujudkan kembali. Dengan bersatu dan mengadakan kerjasama yang eratlah umat Islam akan dapat kembali memperoleh kemajuan. Persatuan dan kerjasama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam.

3.      Konsep Negara
Selain Pan-Islamisme, Al-Afghani juga mengajukan konsep negara republik yang demokratis, dan meninggalkan sistem lama yang bersifat otokratis. Dengannya konsep musyawarah dan kebebasan mengeluarkan pendapat dapat diberlakukan, dan adanya kewajiban kepada negara untuk tunduk pada undang-undang dasar.[30]
Di dalam pemerintahan absout dan otokrasi tidak ada kebebasan berpendapat. Kebebasan hanya pada raja atau kepala negara untuk bertindak yang tidak diatur oleh undang-undang. Dengan demikian, corak  pemerintahan absolut dan otokrasi diganti dengan coak pemeritahan demokrasi.[31]
Pemerintahan otokrasi yang cenderung  meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat  menghargai hak-hak individu. Pemerintahan otokrasi yang mawujud dalam institusi khilafah saat itu harus diganti dengan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu.[32]
4.      Pan-Islamisme: Sebuah Gerakan
Pan-Islamisme yang dipelopori oleh al-Afgani bukan hanya dalam bentuk propaganda melalui Koran Al-‘Urwah al-Wutsqa, tetapi juga merupakan gerakan politik yang bersifat rahasia dan berpusat di Paris. Organisasi ini didirikan atas dasar Islam dan menjadikan seluruh dunia Islam sebagai wilayah dakwahnya.[33]
Tujuan organisasi ini prinsipnya adalah untuk mencari penyebabkan kelemahan umat Islam dan menyadarkan mereka, serta membangkitkan semangat mereka. Di samping itu, organisasi ini juga berusaha melenyapkan keraguan umat Islam terhadapat ajaran Islam itu sendiri, yang disebabkan oleh sekularisasi Barat.[34]
Tidak mudah untuk memasuki organisasi ini, karena terdapat proses pembinaan secara intensif sehingga mereka sampai pada tahap yakin baru kemudian disumpah,[35] di mana teksnya disusun oleh Muhammad Abduh., yang tujuan substansi sumpah itu, paling tidak, ada tiga, yaitu 1) beramal berdasarkan kitab Allah, 2) berdakwah untuk membela agama Allah, dan 3) memperkuat ikatan antara umat Islam.[36]
Bidang perjuangan gerakan ini dalam bidang politik dan pembaharuan keagamaan. Dalam bidang politik berkenaan dengan konsolidasi  pemikiran dan kejiwaan antar umat Islam.[37] Adapun dalam bidang keagamaan berkenaan dengan memerangi taklid dan dekadensi moral, transformasi sebagian dari peradaban Barat.[38]
Dalam rangka konsolidasi pemikiran dan kejiwaan umat Islam, organisasi ini menempuh dua cara yang prinsip, yaitu pertama, dengan menerbitkan majalah Al-‘Urwah al-Wutsqa yang disebarkan ke berbagai negeri Islam secara gratis. Secara umum isinya tidak lain menyerukan perlunya persatuan menyeluruh, berpegang pada prinsip-prinsip Islam, dan mengungkapkan berbagai aspek andil penjajah yang menuntut adanya kekuatan global yang bersifat politis dari dalam dunia Islam ; kedua, menempuh cara pengiriman aktivis Jam’iyyah al-‘Urwah al-Wutsqa ke berbagai negeri, sejalan dengan penyebaran majalah tersebut.[39]
Al-Afgani sendiri, dengan kapasitasnya sebagai seorang tokoh pembaharu, mendatangi berbagai negeri dan bahkan menemui tokoh atau penguasa dan mengadakan negosiasi, akan tetapi satu-satunya hasil yang signifikan ialah hampir terciptanya kontak al-Afgani dengan Sultan Usmani, Abudl Hamid III, akan tetapi hubungan di antara keduanya tidaklah terbangun.[40]
Walaupun demikian, gagasan-gagasan politis dalam hubungan dengan pembaharuan dipaparkan oleh al-Afgani, bahwa penyebab kemunduran umat Islam, secara politis, karena perpecahan yang terdapat di kalangan umat Islam, pemerntahan absolut, mengabaikan pertahanan militer, menyerahkan administrasi negara pada intervensi asing ; di samping itu, lemahnya persaudaraan umat Islam yang terjadi tidak hanya di kalangan bawah, tetapi juga kalangan umara dan ulama.[41]
Dalam bidang keagamaan, al-Afgani mengadakan pembaharuan dengan cara menghilangkan praktek keagamaan yang bukan ortodoks, yang menyebabkan umat Islam menjadi stagnan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.[42]
Menurut al-Afgani, jalan yang ditempuh dalam rangka memperbaiki pemahaman keagamaan umat Islam ialah dengan melenyapkan pengertian-pengertian salah yang dianut umat Islam pada umumnya, dan kemabali kepada ajaran yang sebenarnya. Hati mesti disucikan, budi pekerti yang luhur dibangkitkan kembali, dan demikian pula kesediaan berkorban demi kepentingan umat.[43]
Dalam rangka membasmi taklid, al-Agani menyeru umat Islam agar di setiap negeri terdapat sekelompok dari mereka yang secara khusus mempelajari ajaran Islam secara mendalam dan kemudian menyebarluaskannya kepada seluruh umat. Menurutnya, taklid hanya membuat kerja akal menjadi lamban dan melaksanakan fungsi berfikirnya, dan hal ini akan menggring umat kepada kelemahan yang menyulitkan orang untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.[44]

E.     Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka dapat disimpulkan, bahwa al-Afgani merupakan seorang pemikiran pembaharuan dalam hubungannya dengan keagamaan dan juga politik. Gagasan besar yang dimiliki al-Afgani dituangkannya dalam bentuk Pan-Islamisme, yang dipropaganda melalui makalah Al-’Urwah al-Wutsqa, yang kemudian juga sebagai organisasi gerakan yang rahasia.
Kemudian, gerakan ini bertolak dari keyakian bahwa kebangkitan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni, dan meneladani pola hidup islami, serta mengadakan persatuan umat Islam seluruh dunia, baik pada tataran ulama maupun umara.
Dalam rangka memelihara kemurnian akidah dan pemahaman umat Islam dari pengaruh asing, al-Afgani memberikan perlawanan dan memprovokasi umat Islam untuk mengadakan perlawanan terhadap kolonislisme dan dominasi Barat. Dia juga menentang praktek-praktek keislaman yang bertentangan dengan ortodoksi, dan kesewenang-wenangan pemerintahan Islam di dalam membuat kebijakan, baik itu karena menyalahi ajaran Islam ortodoks, ataupun karena kebijakan untuk tidak berpihak kepada masyarakat awam.***




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Razaq al-Baithar, Hilyah al-Basyar Fi Tarikh al-Qarn al-Tsalits ‘Asyr, Vol. 1, t.t.p.: t.p., t.t.
Ali Rahman, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1995, Cet. 1.
H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam (Alih Bahasa: Machnun Huein, dari Judul Asli Modern Trends in Islam), Jakarta: Rajawali, 1991, Cet. 2.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001, Cet. 13.
L. Stoddard, The New World of Islam, New York: Scribuer Sons, 1921.
Luois Syaikhu, Tarikh al-Adab al-‘Arabiyyah, Vol. 1, t.t.p: t.p., t.t..
Mafahim Islamiyyah,  Vol. 1,
Majallah al-Bayaan, Vol. 10.
Osman Amin, dalam  A History of Muslim Philosophy, Vol. 2, Wiesbaden:  Ottoharrassowitz, 1966.
Shafwan Nawawi, Jamalddin al-Afghaniy Pelopor Pan Islamisme: Kerangka Politik Islam Ideal,  Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003, Cet. 1
Syed Mahmudunnasir, Islam Its Concepts and History, New Delhi: Kitab Bhavan, cet. 1, 1981.
Suyuthi Pulungan, Figh Siyasah; Ajaran , Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
W. Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman, New York: Oxford University, t.t..



[1] Ali Rahman menyatakan, meskipun dia dikenal sebagai al-Afghani (orang Afganistan), tetapi dia lahir di Iran. Lihat di dalam bukunya Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1995, Cet. 1, h. 17; pada halaman 19 Ali Rahman mencatat: “Tak ada sumber primer yang mendukung bahwa tempat lahir atau besarnya adalah di Afghan, seperti yang biasa diakuinya. Kini banyak sumber yang memperlihatkan bahwa dia tidak mungkin orang Afghan, tetapi lahir dan mendapat pendidikan Syiah di Iram”.
[2] Shafwan Nawawi mencatat, bahwa bukti-bukti menyatakan bahwa Jamaluddin berasal dari Iran lebih kuat dibanding bukti-bukti yang menyatakan bahwa ia berasal dari Afghanistan. Ayahnya bernama Sayyid Shard, yang keturunannya bersambung sampai Husain ibn Ali. Para keluarga Jamaluddin ini terdapat di Iran, sementara di Afghanistan tidak ditemui keluarganya kecuali orang-orang fanatik yang menyatakan Jamaluddin berasal dari Afghanistan. Menurut keluarganya di Iran, Jamaluddin menisbatkan namanya dengan Afghan adalan dalam rangka kepentingan besar, agar dia dapat menarik perhatian kaum Sunni. Lebih lengkapnya dapat dilihat dalam Shafwan Nawawi, Jamalddin al-Afghaniy Pelopor Pan Islamisme: Kerangka Politik Islam Ideal,  Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003, Cet. 1, h. 21-28; lihat juga dalam Abdul Razaq al-Baithar, Hilyah al-Basyar Fi Tarikh al-Qarn al-Tsalits ‘Asyr, Vol. 1, t.t.p.: t.p., t.t., h. 205.
[3] Osman Amin, dalam  A History of Muslim Philosophy, Vol. 2, Wiesbaden:  Ottoharrassowitz, 1966, h. 1484; dan Ali Rahman, op.cit., h. 19.
[4] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001, Cet. 13, h. 43.
[5] Dalam catatan Ali Rahman, op.cit., h. 20-21, Jamaluddin al-Afghani berangkat dari Iran menuju India, yaitu sekitar tahun 1857. Tema sentral gerakan dan pemikiran al-Afgani ialah memerangi Inggris yang bertempat di bumi Muslim, dan ternyata kontak penting pertamanya dengan pemikiran Barat terjadi di India. Di India al-Afghani merasakan skeptis (karena mempelajari filasafat barat), lalu dia pergi ke Mekah, kemudian ke kota-kota suci Syi’ah, lalu ke Iran, dan baru dari sini ke Afganistan, yaitu tahun 1866.
[6] Ali Rahman, ibid., h. 21, mencatat: “Dalam banyak dokumentasi periode ini, dia terlihat sebagai figur politik yang anti Inggris.... Jatuhnya A’zhan Khan dan naik tahtanya Shir Ali yang lebi pro-Inggris, menyebabkan Afghani diusir dari Afganistan pada Desember 1868. Dia ke Bombay, Kairo, dan Istambul pada 1869”.
[7] Ali Rahman, ibid., h. 23-25, dijelaskan bahwa al-Afghani memiliki pengaruh yang besar di Mesir, yang menyebabkan Taufik yang pro Inggris mengusirnya (bukan karena hasutan Inggris, tetapi karena pidato Afgani yang anti Inggris), kemudian dia pergi ke India, dan selanjutnya ke London; dari London, dia kemudian ke Paris, yang diikuti Muhamad Abduh, yang kemudian mendirikan koran berbahasa Arab, Al-‘Urwah al-Wutsqa.
[8] Ibid.,  h. 43-46; lihat juga dalam Osman Amin, op.cit., h. 1484-1485.
[9] Ibid., h. 25, lihat juga dalam Shafwan Nawawi, op.cit., h. 104; dan Harun Nasution, op.cit., h. 45.
[10] Shafwan Nawawi, op.cit., h. 68-74.
[11] Shafwan Nawawi, ibid., h. 74-76.
[12] Ali Rahman, ibid, h. 21.
[13] Osman Amin, op.cit., h. 1487.
[14] Ibid.; Shafwan Nawawi, op.cit., h. 78. Majalah ini diterbitkan di Paris oleh al-Afgani bersama rekan dan muridnya, Muhammad Abduh, dalam rangkan menyatukan suara umat Islam. Lih. Luois Syaikhu, Tarikh al-Adab al-‘Arabiyyah, Vol. 1, t.t.p: t.p., t.t.,  h. 163.
[15] Pan-Islamisme (Inggris: Pan-Islamism) adalah gagasan, yang karena Islam merupakan kesatuan, menyatakan bahwa seluruh umat Islam harus bersatu menghadapi dominasi Barat. Istilah diberikan oleh penulis Barat (Western writers) terhadap gagasan yang digela oleh Jamaluddin al-Afgani. Lih. H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam (Alih Bahasa: Machnun Huein, dari Judul Asli Modern Trends in Islam), Jakarta: Rajawali, 1991, Cet. 2, 49; juga dalam Osman Amin, op.cit., h. 1487; juga dalam L. Stoddard, The New World of Islam, New York: Scribuer Sons, 1921, hal. 16.
[16] Shafwan Nawawi, op.cit., h. 78-88.
[17] L. Stoddard, op.cit., hal. 62, membuat asumsi dasar Pan-Islamisme, yaitu: 1) Dunia Kristen sekalipun mereka berbeda dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila menghadapi dunia Timur (Islam) mereka bersatu untuk menghancurkannya, 2) Semangat perang Salib masih tetap berkobar, orang Kristen masih menaruh dendam. Ini terbukti umat Islam diperlakukan secara diskriminatif dengan orang Kristen, 3) Negara-negara Kristen membela agamanya. Mereka memandang Negara Islam lemah, terbelakang dan biadab. Mereka selalu berusaha menghancurkan  dan  menghalangi  kemajuan Islam, 4) Kebencian terhadap umat Islam bukan hanya sebagain mereka, tetapi seluruhnya. Mereka terus-menerus bersembunyi dan berusaha menyembunyikannya, dan 5) Perasaan dan aspirasi umat Islam diejek dan difitnah oleh mereka. Istilah nasionalisme dan patriotosme di Barat, di Timur disebut fanatisme.
[18] QS. Al-Anfal/8 ayat 46 dan QS. Ali Imrah/3 ayat 103, berdasarkan penjelasan Shafwan Nawawi, op.cit., h. 78 dan 80.
[19] Shafwan Nawawi, ibid., h. 79.
[20] Ahmad Syalabi, Imperium Turki Usmani, Jakarta: Kalam Mulis, 1988, Cet. 1, h. 107, menyatakan bahwa Al-Afgani adalah orang pertama yang menyadari sepenuhnya akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh karena itu, dia mengabdikan dirinya untuk memperingatkan dunia Islam akan hal itu dan melakukan usaha-usaha yang teliti untuk pertahanan; L. Stoddard, op.cit., h. 32-33.
[21] H.A.R. Gibb, op.cit., h. 49.
[22] Apabila dilihat dari sepak terjang dakwah Rasulullah menyebarkan Islam, maka Rasulullah tidak hanya sebagai seorang Nabi, tetapi juga sebagai pembaharu sosial dan pemimpin politik yang handal. Inilah barangkali yang menjadi role-mode gerakan dan pemikiran Jamaluddin al-Afgani. Lihat sejarah Rasulullah SAW., seperti dalam Syed Mahmudunnasir, Islam Its Concepts and History, New Delhi: Kitab Bhavan, cet. 1, 1981, h. 90; lihat juga W. Montgomer Watt, Muhammad Prophet and Statesman, New York: Oxford University, t.t..
[23] Shafwan Nawawi, op.cit., h. 82.
[24] Dalam Mafahim Islamiyyah,  Vol. 1, h. 30.
[25] Ibid..
[26] Shafwan Nawawi, op.cit., h. 77.
[27] Dalam Majallah al-Bayaan, Vol. 10, h. 41.
[28] Shafwan Nawawi, ibid., h. 82.
[29] Shafwan Nawawi, ibid., h. 90.
[30] Harun Nasution, op.cit., h. 48; lihat juga dalam Suyuthi Pulungan, Figh Siyasah; Ajaran , Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 281.
[31] Harun Nasution, ibid..
[32] J.Suyuti pulungan, Op.Cit., hal. 286.
[33] Shafwan Nawawi, op.cit., h. 99-100.
[34] Shafwan Nawawi, ibid., h. 100 mencatat, bahwa tujuan dari organisasi ini ialah: 1) menempatkan organisasi sebagai pelayan orang-orang Timur secara umum, sehingga mereka mengetahui kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan; 2) membahas sebab-sebab yang membawa bangsa Timur kepada kelemahan dan menyadarkan mereka dari kalalaian dalam pengalaman ajaran-ajaran agama; 3) organisasi ini berusaha melenyapkan keraguan yang menimbulkan praduga-praduga yang berlebih-lebihan, membuang was-was yang merusak pikiran dari membawa pada sikap putus asa melaksanakan pembaharuan dan melihat krisis masa lalu; dan 4) mencoba menghidupkan harapan baru dalam jiwa umat Islam dan menjelaskan kepada mereka bahwa jalan menuju kebangkitan itu tidaklah sulit hingga mengharuskan lunturnya cita-cita dan tekad.
[35] Redaksi sumpah itu: “Aku bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Tahu secara menyeluruh dan sebagian-sebagian, yang tampak dan yang tersembunyi, yang menilai setiap apa yang dilakukan setiap diri, yang menyiksa setiap pendosa berdasarkan dosa-dosanya. Sesungguhnya aku berhukum dengan kitab Allah dalam segala perbuatanku dan akhlakku tanpa interpretasi dan penyesatan. Sungguh aku akan berdakwah untuk membela agama-Nya. Aku bersumpah dengan nama Allah, bahwa aku akan mengerahkan apa saja yang bisa aku usahakan untuk menghidupkan ukhuwah Islamiyah, menempatkannya dalam kedudukan kenabian dan kekeluargaan yang benar; bahwa aku tidak akan mendahulukan kecuali apa yang harus didahulukan menurut agama; aku tidak menomorduakan kecuali apa yang menurut agama dinomorduakan; tidak akan aku usahakan suatu  kemajuan apapun, jika itu dikhawatirkan akan membawa madarat pada agama secara keseluruhan atau sebagiannya; bahwa aku akan mencari berbagai sarana untuk mengokohkan Islam, baik pemikiran maupun kemampuan; bahwa aku akan memperluas  pengetahuan tentang dunia Islam sebisaku…..”, lengkapnya lihat Shafwan Nawawi, ibid., h. 101-102.
[36] Shafwan Nawawi, ibid., h. 101-102.
[37] Shafwan Nawawi, ibid., h. 104.
[38] Shafwan Nawawi, ibid., h.110-116.
[39] Shafwan Nawawi, ibid., h. 104.
[40] Shafwan Nawawi, ibid., h. 105.
[41] Harun Nasution, op.cit., h. 47-48.
[42] Harun Nasution, ibid., h. 47, menjelaskan bahwa dalam bidang keagamaan, umat Islam memahami ajaran Islam bercampur dengan paham yang datang dari luar Islam (asing). Dengan kata lain, telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran Islam sebenarnya hanya tertinggal di atas kertas-kertas. Paham kada dan kadar diubah menjadi fatalisme, yang mengarahkan umat Islam ke dalam kondisi statis.
[43] Harun Nasution, ibid., h. 48.
[44] Shafwan Nawawi, op.cit., h. 111.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Artikel Terbaru

Pengikut